MENATAP WAJAH NU MASA DEPAN; Refleksi Harlah NU ke 94 Tahun -->
Cari Berita

Advertisement

MENATAP WAJAH NU MASA DEPAN; Refleksi Harlah NU ke 94 Tahun

Redaksi
Minggu, 02 Februari 2020

MENATAP WAJAH NU MASA DEPAN; Refleksi Harlah NU ke 94 Tahun

ARTIKEL (Ruangaspirasi.net) Seiring dengan perjalanan waktu, saat ini NU telah berusia 94 Tahun dan 2026 pengabdian NU pada agama, bangsa dan negara telah memasuki satu Abad (100 th). Data statistik yang dilansir berdasar survey ISNU Jatim mengungkapkan bahwa warga NU pada tahun 2013 telah mencapai 83 juta jiwa seindonesia, dan 26 juta jiwa di Jawa Timur. Data tersebut di potret secara kultural masyarakat NU yang menggunakan Qunut, Tahlil, maulid Nabi, istigotsah, dan tabarruk ke  Ulama dan sholihin. Pada tahun 2016, sebagaimana hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI),  jumlah warga NU adalah 91, 2 juta jiwa atau sekitar 36, 5 persen dari seluruh penduduk Indonesia.

Berdasar data di atas, tampak jelas bahwa kaum Nahdliyyin telah banyak berbuat dan berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia, bahkan dalam tatapan sejarah, NU berjasa bagi kelanggengan dan pertahanan amalan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Sebagai Ormas Islam Mayoritas, secara implisit NU membuktikan keberhasilannya dalam memobilisasi, dan mengorganisir masyarakat. Keberhasilan ini secara kuantitaif dapat dibuktikan pada jumlah kepengurusan dan keanggotaan NU dari muktamar ke muktamar.

BACA JUGA: Destinasi Wisata Buku, Mungkinkah?

Muktamar NU pertama 1926 dihadiri 96 kyai, muktamar kedua dihadiri 146 kyai dan 242 peserta muktamar. Muktamar 1928 sudah dihadiri 260 kyai dan telah terbentuk 35 cabang, tahun berikutnya NU telah memiliki 63 cabang dan muktamar selanjutnya telah mampu menghadirkan 1450 peserta dan peninjau. Tahun 1933 warga NU telah mencapai 40.000 jiwa, setahun kemudian pemerintah belanda menyatakan bahwa 400 kyai telah bergabung dengan NU sehingga tahun 1935 NU memiliki anggota 67.000 jiwa yang tersebar di 76 cabang. Tahun 1938 NU memiliki 99 cabang dengan 100.000 anggota. Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 NU telah memiliki 120 cabang.

Eksistensi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan semakin kokoh dan terarah pasca muktamar 1984 di Situbondo yang melahirkan Khittah Nahdliyyah yang berorientasi pada penguatan organisasi dan tujuan oraganisasi. Menurut K.H. Achmad Siddiq, pola organisasi NU yang dirumuskan oleh khittah  terdiri dua makna yaitu organisasi sebagai media kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan sebagai proses pengaturan bersama yang berisi mekanisme dan tata kerja.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan oraganisasi NU saat ini? Bagaimana cara mempertahankan,  menyelamatkan, dan mengembangkan  NU menuju masa depan.  Kertas kerja ini ingin memotret tantangan NU masa kini dan menghadirkan kembali prinsip dasar perjuangan para peletak dasar Nahdlatul Ulama.

POTRET NU MASA KINI


Dewasa ini Nahdlatul Ulama dihadapkan pada beberapa Gerakan yang dapat melumpuhkan organisasi, dan memandulkan semangat perjuangan kaum Nahdliyyin. Gerakan tersebut ada yang bercorak sosial keagamaan dan bercorak sosial ekonomi. Pertama, di ranah sosial keagamaan, NU dihadapkan pada kelompok Islam Transnasional. Kelompok Islam yang baru baru ini semakin subur di Indonesia adalah wahabi yang berubah nama menjadi salafi  dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang baru saja bubar.

Hadirnya beberapa kelompok di atas, menggelisahkan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam yang telah lama lahir di Indonesia dengan bermadzhab ahlussunnah wal jama’ah. Dikatakan gelisah karena kelompok Islam yang baru telah banyak mengganggu stabilitas amaliyah kaum Nahdliyyin bahkan mengancam stabilitas bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat pada pengkaburan makna terhadap beberapa amaliyah yang kerap dianggap bid’ah, bahkan acapkali dianggap kafir yang akan berada di neraka selama lamanya.

Ironisnya, gerakan transnasional tersebut sudah mulai merambah dan membangun kekuatan di daerah basis Nahdlatul Ulama. Tidak jarang warga Nahdliyyin yang sudah mulai simpati bahkan terpengaruh dan pindah haluan ke kelompok mereka. Kalau mereka punya hak untuk mengembangkan ajarannya dengan mempengaruhi kelompok lain, maka Nahdlatul ulama punya kewajiban untuk membentengi warga Nahdliyyin dari pengaruh ajaran yang berbeda haluan. Kedua, dalam konteks sosial ekonomi, NU dihadapkan pada kelompok  gerakan yang bercorak ekonomi atau akrab disebut neoliberalisme/Pasar global.


Menurut amatan penulis, ditengah cengkeraman neoliberalisme, masyarkat NU akan mengalami beberapa kerugian dan ancaman kedepan: pertama, elit ulama NU yang notabene kaum santri akan terancam baik pada level ekonomi maupun greet individual (karisma), karena ada aktor neoliberal yang akan merebut kekuasaan lokal,dalam sebuah daerah demi kepentingan dan kemenangan pemilik modal, bukan kepentingan masyarakat NU. Saat ini masyarakat sudah banyak tergiur oleh produk produk kapitalis, bahkan dijadikan sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Masyarakat lebih banyak merubah pola hidupnya berdasar citra kapital sebagai sindrom kemajuan zaman, bukan lagi merubah pola hidupnya berdasar kemaslahatan dan kesejahteraan sosial, sebagaimana tercermin dalam nilai nilai Aswaja. Kedua, eksistensi NU sebagai organisasi akan tercerai berai, akibat propaganda neoliberal berdasar penciptaan problem-problem sosial baru, yang natinya kekuatan modal akan menjadi penawarnya. Hal ini, dapat dilihat pada maraknya masyarakat NU yang kerap kali menggunakan identitas ke NU-annya sebagai modal untuk memperoleh penghasilan untuk dirinya,(baik melalui politik maupun proyek pembangunan) bukan memperbaiki dirinya dan umat.

BACA JUGA: Bangun Kemajuan Indonesia, Awardee LPDP Dirikan Yayasan Cantrika

Fenomena ini secara analogis pernah ditegaskan oleh K.H Abdul Muchith Muzadi, bahwa NU itu untuk “ndandane awak”(memperbaiki diri) bukan “golek iwak” (cari penghasilan). Ketika hal ini dibiarkan begitu saja, tanpa benteng yang kuat, maka tidak menutup kemungkinan NU akan tergadaikan, pada pemilik modal. Ketiga, generasi muda NU akan semakin teralinasi akan ke NU-annya, dan kehilangan orientasi, karena saat ini potensi kaum muda NU belum mampu di kelola dengan baik sehingga belum membentuk sebuah kekuatan besar yang berada dalam payung NU. Saat ini, kaum muda NU justru lebih banyak tergoda oleh lipstick kuasa produk kapital, sebagai sindrom life style.

Berdasar analisis di atas, NU harus lebih progresif kritis, dalam menyikapi perkembangan zaman, khususnya neoliberalisme. Untuk keluar dari cengkraman neoliberalisme dan menghadapai tantangan gerakan baru, sangatlah tepat apabila pengurus dan warga NU menghadirkan kembali tiga prinsip dasar yang mengawali lahirnya Nahdlatul Ulama. Prinsip tersebut dipelopori oleh K.H. Wahhab Hasbullah dengan membentuk sebuah gerakan Nahdlatul wathan tahun 1916 untuk membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia khususnya masyarakat NU. Nahdlatut Tujjar tahun 1918 sebagai gerakan para pedagang untuk memperbaiki stabilitas dan kemandirian ekonomi umat. Taswirul afkar 1919 sebagai gerakan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat dan menciptakan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan.

Dengan demikian NU organisatoris yang dicita citakan para pendahulu yang saat ini telah termakan zaman, akan kembali hidup, dan organisasi NU akan menjadi media konsolidasi warga NU bahkan konsolidasi bangsa Indonesia dalam menghadapi beberapa gerakan yang bisa mengganggu stabilitas amaliah warga NU, dan mengancam stabilitas bangsa Indonesia.

Penulis: Achmad Nur
Tentang Penulis: Ketua Lakpasdem NU Situbondo dan Dosen STAINH