TERORISME: Bukanlah Wajah Nusantara -->
Cari Berita

Advertisement

TERORISME: Bukanlah Wajah Nusantara

Redaksi
Selasa, 15 Mei 2018


Oleh : Achmad Nur

ARTIKEL, (Ruangaspirasi.me) Peristiwa kekerasan berwajah terorisme kembali mewarnai bumi nusantara. Dua hari yang lalu tepatnya Minggu 13 mei 2018, masyarakat Indonesia khususnya Jawa Timur kembali diresahkan dengan ledakan bom di tiga gereja di hari yang sama dan waktu hampir bersamaan. Berdasar pernyataan Kapolri sebagaimana dilansir oleh tribunnews, pelaku aksi teror tersebut di duga dilakukan oleh satu keluarga yang terdiri dari suami istri dan anak anaknya. Bom pertama meledak sekitar pukul 07.30 Wib di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di jalan ngagel madya Utara Surabaya. Selang lima menit bom kedua meledak di gereja pante kosta pusat, di jalan arjuno. Bom yang ketiga meledak di Gereja GKI di jalan ponorogo.

Kronologis diatas membuktikan bahwa gerakan tersebut terencana dan dirancang secara sistematis. Artinya, kelompok gerakan radikal dan ekstrim tersebut secara nyata ingin merusak nilai kedamaiaan dan etika luhur masyarakat nusantara, yang pada klimaknya akan menghancurkan bahkan menguasai republik tercinta. Keberadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena merupakan bentuk kolonisasi berwajah baru yang sangat mengancam keselamatan dan  masa depan bangsa dan negara Indonesia. Sebagai bekal wacana dan cara untuk keluar dari dunia kekerasan dan kehancuran menuju dunia kemanusiaan dan kedamaiaan, Tulisan ini akan menyajikan potret “etika nusantara” yang sudah terbukti memberikan warna kedamaiaan bagi masyarakat Indonesia. 

Etika Nusantara

Trepsila atau etika Nusantara telah terbukti dan  mewarnai prilaku para raja raja dan masyarakat Nusantara. Pertama, kerajaan kutai sebagai kerajaan tertua di Nusantara. Raja pertamanya adalah kundungga yang oleh para ahli sejarah ditengarai sebagai nama asli Nusantara. Kebiasaan raja kutai mulai dari kundungga hingga mulawarman yang namanya tercatat dalam yupa (prasasti) adalah memberikan sedekah kepada masyarakat melalui para agamawan dengan berkorban 20.000 ekor sapi. Praktik kebiasaan berderma tersebut merupakan bentuk etika sosial sebagai bukti pelayanan seorang pemimpin dan pemilik modal kepada para masyarakat yang membutuhkan. Melalui sikap inilah, dalam tatapan sejarah di gambarkan tentang kesejahteraan masyarakat kutai. 

Kedua, kerajaan mataram kuno dibawah kendali raja balitung. Sebagai seorang pemimpin, raja balitung memberikan kebijakan tentang pembebasan pajak bagi rakyat, dan melarang penduduk untuk memungut upah (pungutan liar) bagi para penyebrang. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari etika kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan menambah beban bagi rakyat.

Ketiga, kerajaan kahuripan Jawa Timur. Kerajaan ini di pimpin oleh raja Air Langga yang memliki jiwa kepemimpinan mengayomi dan melindungi terhadap semua rakyat. Sifat dan karakteristik yang khas adalah toleransi terhadap umat beragama. Hal ini dibuktikan pada saat air langga menjadi pelindung Agama Budha. Sebagai seorang raja, air langga memposisikan rakyat sama didepan hukum tidak melihat keyakinan, agama, dan kebudayaan. Artinya siapapun orangnya akan diperlakukan sama di depan hukum.

Contoh di atas, sejalan dengan prinsip kehidupan dalam islam yang terdiri dari: Pertama, prinsip Syura yaitu sebuah musyawarah atau konsensus yang didapat melalui usaha negosiasi dan komunikasi diruang publik. Dalam termenologi politik prinsip ini disebut sebagai demokrasi. Kedua, prinsip persamaan di depan hukum (al-musyawah amamal qonun). Prinsip ini tidak melihat kelas dan stratifikasi sosial, agama, ras, etnik dan budaya melainkan melihat apa yang dilakukan dan didasarkan pada hukum yang berlaku. Pejabat yang bersalah di adili di hadapan hukum, begitu juga pada rakyat yang membuat kesalahan harus di adili sesuai ketentuan hukum.

Ketiga, prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia (al muhafadlah ala karomatil insan). Hak asasi manusia sebagai warga Negara di junjng tinggi, hak asasi sebagai umat beragama dijunjung tinggi dan dimulyakan. Realitas yang menimpa bangsa kita adalah penghinaan hak asasi manusia dengan bentuk penindasan, dan kekerasan. Keempat, kebebasan dan kemerdekaan beraqidah, berpikir, dan berargumen (hurriyah al aqidah, wal fikr wal qoul ). Disinilah komunikasi berfungi dan ruang publik menjadi media bertem,unya aqidah, pemikiran dan pendapat yang beraneka ragam. Kelima, prinsip kontroling dari rakyat terhadap pemerintah dan akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat (roqobatul ummah wamasuliyatul hakim ). Peran masyarakat sebagai agen of control, and change betul betul diwujudkan. Melalui cara ini pemerintah selalu diawasi oleh rakyat dan rakyat merasa diperankan oleh pemerintah serta terjadi wujud keberanian kejujuran sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah terhadap rakyat.

Berdasar analisa diatas, tampak jelas bahwa: pertama, masyarakat Nusantara berjiwa moralis, pluralis dan multikulturalis. Kedua, terjadi Islamisasi Nusantara yang santun, dialektis, dan komunikatif oleh para penyebar islam. Ketiga, Islamisasi yang komunikatif membentuk etika Nusantara yang mewarnai kehidupan para raja dan masyarakat Nuswantara. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan, teror, dan penghancuran bukanlah watak dasar masyarakat nusantara, melainkan nilai penjajahan yang akan merusak citra masyarakat Nusantara. Dengan kata lain, prilaku yang bermoral, menebarkan kedamaiaan dan menjunjung tinggi kemanusiaan merupakan karakteristik masyarakat nusantara yang harus kembali di bumikan di bumi pertiwi.

Profil Penulis: Wakil Rektor STAINH, Ketua Lakpesdam PCNU Situbondo, Da’i Muda.