Hannah Arendt, Demokrasi dan Sejumput Harapan Pemilu 2019 -->
Cari Berita

Advertisement

Hannah Arendt, Demokrasi dan Sejumput Harapan Pemilu 2019

Redaksi
Senin, 08 Oktober 2018


*Penulis : Fathor Rosi

ARTIKEL, (Ruangaspirasi.net) Pemerintahan kita, sistem demokrasinya, mencoba untuk terus menjawab pelbagai harap. Namun dalam perjalanannya seperti menemui jalan buntu. Memang untuk membangun demokrasi yang sehat dan kuat tidaklah mudah, sebab demokrasi sering kali di nodai oleh kelompok-kelompok yang apatis, apolitis dan serakah. Mereka ini tidak tahu-menahu akan nasib bangsa ini ke depan. Akibatnya, demokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan, malah menciptakan ketidak adilan dan kepiluan bertubi-tubi.

Diskursus demokrasi seringkali dimanfaatkan oleh “elite politik” untuk memanipulasi politik. Absennya pengetahuan warga atas demokrasi, menjadi ‘bantal’ empuk untuk mengkerdilkan konsep demokrasi; sebatas dengan menyalurkan suara dalam pemilu.

Demokrasi adalah ruang serba mungkin, termasuk kemungkinan hancurnya demokrasi itu sendiri. kelompok fundamentalisme agama berusaha memboikot ruang publik dengan mengklaim kebenaran tunggal. Dengan tidak mencoba memberikan kesempatan kepada kebenaran yang lain, selain kebenaran dari Tuhan. Begitu pun jika politik dan institusi negara di jalankan berdasarkan komunikasi transaksional, maka tidak ada ruang publik. yang ada kebengisan dan ‘mikanisme pasar’.

Dengan demikian, tidak heran tingkah para politisi kita tega menggadaikan serta mencabik-cabik kepentingan publik. Seperti membuka lebar-lebar pintu untuk pemodal (baik asing maupun domestik) mengesploitasi kekayaan negeri. Di samping juga terus mempertahankan status quo dengan menelikung asas-asas demokrasi. Instrumen institusional pun sengaja di bentuk bukan karena demi kepentingan publik, melainkan untuk ‘ruang privat’ yang dibungkus dengan kampanye pembangunanisme (developmentalism).

Parahnya, politik telah dimaknai oleh sebagian politisi untuk tidak mengatakan semuanya- sebagai aktivitas banal untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun, termasuk menggunakan uang bahkan kekerasan “banality of evil” istilah yang dipakai oleh Arendt. Di mana homogenitas dan konformitas menggantikan pluralitas dan kebebasan dan dimana isolasi dan kesendirian mengikis solidaritas seluruh bentuk spontanitas kehidupan bersama umat manusia.

Menurut Arendt, politik yang otentik adalah suatu bentuk aspirasi dan partisipasi tiap-tiap subjek dalam komunitas politik demi kehidupan bersama. Medium utama politik ialah dialog dan komunikasi yang rasional dan mengandalkan logos. Lalu bagaimana dengan demokrasi? Pada prinsipnya, ketika politik melibatkan tiap-tiap elemen masyarakat duduk bersama dalam  ruang publik untuk memecahkan masalah dalam suatu negara, maka dengan sendirinya demokrasi terjadi.

Menurut Jurgen Habermas, Arendt dalam kategori ini, menawarkan format demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif merupakan sistem politik yang berdasarkan ruang diskursus yang harus ditempatkan dalam konteks publik dengan prinsip egalitarian.

Dalam demokrasi deliberatif, setiap partisipasi harus diwajibkan mengikuti prosedur konsensus secara legal. Partisipasi warga negara di wujudkan dalam bentuk opini publik. melalui kontrol opini publik terhadap jalannya pemerintahan-konsekuensi logisnya, setiap bentuk partisipasi haruslah mengandung kepentingan bersama. Karena demokrasi deliberatif adalah respon terhadap kemajukan masyarakat modern yang mempunyai kepentingan berbeda-beda, maka dalam demokrasi deliberatif adalah jauh lebih penting memastikan dengan cara manakah opini-opini mayoritas itu terbentuk sedemikian rupa sehingga seluruh warga negara dapat mematuhi opini-opini itu. Dengan demikian, peran Media Sosial (Medsos) sangat perlu membangun kembali marwah demokrasi, melalui opini-opini publik yang positif.

Selanjutnya adalah prinsip keadilan menjadi rumusan yuridis terhadap setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mendahului “yang adil” ketimbang “yang baik”. Apa yang baik belum tentu adil dan apa yang adil sudah pasti baik. Prinsip tersebut menjadi distingsi antara demokrasi deliberatif dan demokrasi lainnya karena demokrasi deliberatif tidak memungkinkan kehendak umum sebagai kebenaran yang universal. Kehendak umum seringkali memunculkan “tirani mayoritas” karena gagal memecahkan problem masyarakat secara keseluruhan.

Kenyataan di atas mungkin hanya terjadi dalam demokrasi liberal. Saya bebas sejauh saya menyandang hak yang menjamin saya. Sementara dalam kerangka pemikiran Arendt, kebebasan mesti diartikulasikan melalui bentuk-bentuk tindakan politik dalam ruang publik. Saya bebas sejauh saya merupakan anggota komunitas dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Arendt telah berhasil melakukan pendekatan baru terhadap kebebasan yang selama ini di tunggangi oleh filsafat liberalisme.

*Penulis adalah akademi di salah satu perguruan tinggi di Kabupaten Situbondo