Terlihat beberapa santri PPNH saat membeli gorengan si Mbah. |
ARTIKEL (Ruangaspirasi.net) Sebut saja si "Mbah", sosok wanita penjual gorengan dengan kerutan di wajah dan sebuah tongkat yang setia membantunya untuk terus berjalan, menapaki aspal dari rumah menuju pesantren demi mendapatkan sesuap nasi.
Rasa lelah dan sakit jelas tergambar di raut wajahnya yang semakin tua. Tidak kenal panas maupun hujan, wanita kelahiran Desa Peleyan, Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo itu tetap bersemangat menunggu para santri di teras Pondok Pesantren Nurul Huda (PPNH). Dimana, santri dapat membeli gorengannya hanya saat pintu gerbang telah terbuka.
"Saya hanya ingin menumpang sedikit rezeki dari anak santri. Selama berpuluh-puluh tahun, saya menjual gorengan di pesantren ini, mulai sejak pondok ini dibangun menggunakan cangkruk dan hanya ada beberapa tempat saja untuk santri dapat menimbah ilmu, hingga sampai saat ini telah berdiri beberapa bangunan-bangunan megah," cerita si "Mbah". Sabtu, (26/01/2018)
"Bahkan dulu ketika saya datang ke pesantren ini setiap pagi saya pasti membersihkan dan mencabut rerumputan di area pondok, namun pada saat ini rerumputan itu sudah tidak nampak lagi karena di sekitar halaman pesantren telah dipaving," imbuhnya
Dihimpun dari berbagai informasi, janda 4 anak tersebut hanya tinggal sendiri dengan sebatang kara. Sebab, putra-putrinya sudah berkeluarga dengan kondisi ekonomi yang juga serba kekurangan.
"Iya, sesekali mereka datang secara bergantian. Namun, bukan untuk memberi uang ataupun barang untuk dimakan, mereka hanya sekedar untuk memastikan keadaan saya baik-baik saja. Karena itulah saya masih bertahan menjadi penjual gorengan setia," pungkas si "Mbah"
Itulah kisah si penjual gorengan yang gigih dan istiqomah. Demikian, patut kita contoh ketekunan dan kesabarannya dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan ombak rintangan.
Penulis : Restu Umia
Mahasiswi Magang STAINH