Ketua LKKNU Kota Pontianak Hasan Bashri angkat bicara terkait kasus dugaan kekerasan terhadap Audrey. |
TOPIK UTAMA (Ruangaspirasi.net) Kasus dugaan kekerasan oleh 12 anak siswi SMA terhadap Audrey (14) siswi yang masih duduk di bangku SMP kelas VIII di Pontianak, Kalimantan Barat (Jum'at, 29/03/2019) menjadi hangat dibicarakan. Demikian, berkaitan dengan penegakan hukum yang harus tegas dan adil hingga ke pengadilan anak. Secara kekeluargaan, kasus ini bisa diselesaikan secara damai agar tidak ada saling dendam di kemudian hari. Namun, bukan berarti saling memaafkan justru menghilangkan kasus hukumnya. Kekerasan atas nama apapun dan dilakukan oleh siapapun harus diselesaikan di peradilan. Apalagi, kasus ini sudah mendunia.
Namun Bisakah Penganiaya Audrey Diproses Secara Hukum?
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, pada BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1:
Ayat (1) Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Ayat (3) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Ayat (4) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Ayat (5) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Melihat persoalan ini, Hasan Bashri Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Kota Pontianak angkat bicara. Menurutnya, hal yang lebih penting melihat persoalan ini adalah peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga yang mendidik anak untuk membangun karakter kepribadian. Jika anak bersekolah menjadi beringas, maka pertanyaannya adalah seperti apa pola didik-asuh di dalam keluarganya.
"Menurut saya, dari latar belakang pelaku, dapat diasumsikan di dalam keluarganya si anak mendapatkan perhatian yang baik. Artinya, pola didik asuh di keluarga sudah benar, kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak ini penyebabnya adalah pergaulan di lingkungan sekolahnya," paparnya
Selain itu, Ketua LKKNU mengajak untuk memperhatikan metode belajar di sekolah. Karena pendidikan formal seharusnya mampu mengubah kepribadian anak dari seorang yang awalnya berparadigma jahiliyah (kaku dan bodoh) menjadi seseorang yang berparadigma modern (humanis dan toleran). Karena prilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak remaja penyebabnya bukan tunggal, pasti ada faktor lain.
"Menjadi PR kita semua untuk melakukan evaluasi secara total. Mulai dari pola pendidikan informal di rumah. Pola pendidikan formal di sekolah dan pola pergaulan di era digital sekarang. Seorang anak yang mendapatkan pendidikan yang baik pasti akan memiliki karakteristik memanusiakan manusia yang lain, bukan melakukan kekerasan terhadap sesama," tegasnya
"Mari maafkan pelaku jangan kita bully, tapi penegakan hukumnya harus tetap jalan dan harus dikawal," pungkas Hasan Bashri
Rika/Rokib