VANILLA -->
Cari Berita

Advertisement

VANILLA

Redaksi
Sabtu, 01 September 2018

Gambar Ilustrasi (Sumber Google)  

Oleh: Elsa Malinda

D-O-N-A. Dona.

Ketua mading paling menyebalkan sedunia itu lagi-lagi bikin Echa naik darah. Ia rela menahan diri untuk tidak pergi ke WC selama menunggu ketua klub yang baru dilantik bulan lalu itu keluar dari kelasnya. Ia rela menahan mules yang rasanya semakin lama semakin membuat perutnya terasa melilit hingga ia duduk meringkuk di atas kursi kayu panjang bercat hijau tua itu. Ia juga rela dilihati siswa-siswi yang lewat dengan tatapan heran sebab posisi duduk dan kedua tangannya memegangi perut disertai dengan wajah meringis yang mengundang perhatian. Berkali-kali Echa melirik jam tangan, berharap Bu Rita yang terlalu asyik mengajar di kelas Dona itu sadar bahwa bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring sepuluh menit yang lalu.

Namun ternyata usahanya menunggu Dona itu terbuang sia-sia. Echa harusnya tahu bahwa ia akan dikerjai lagi seperti kejadian dua minggu lalu. Ia juga seharusnya langsung pulang saja tadi dan pura-pura lupa kalau flashdisk putih di sakunya itu berisi dokumen yang ia kerjakan semalaman di sela-sela PR biologi sambil terkantuk-kantuk. Ugh, awas kau, Dona!

***
Bibir tipis Echa tertekuk ke bawah seperti huruf u terbalik. Sepasang alis tebalnya bertautan,membentuk kerutan di dahinya yang mulus dan putih. Sebuah jerawat di ujung hidungnya yang mungil tak ia hiraukan. Ada masalah yang lebih parah daripada jerawat berwarna merah muda yang cukup besar dan bikin ngilu setiap ia tak sengaja mengusap hidungnya.
   
“Kenapa, Cha? Kesal karena ada jerawat?” tanya Bunda seraya mengecek bahan di dalam kulkas usai melihat anak sulungnya berjalan pelan menuruni tangga.

Dengan langkah gontai Echa menuju meja makan dan menarik keluar kursinya. Ia bertopang dagu di atas meja sambil menatap mata Bunda, berharap Bunda akan mengerti tanpa perlu ia jelaskan. Ia takut air mata yang ia tahan sedari tadi akan tumpah kalau ia menceritakan kejadian tidak mengenakkan di sekolah hari ini.

Sejak pulang sekolah tadi Echa mogok bicara. Ia enggan membuka mulut karena takut apa yang ia pendam akan keluar. Mending kalau Dona yang ia damprat. Kalau orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah mereka yang Echa marahi maka akan membuat Echa menyesal setengah mati. Akan bertambah pula kegundahan hatinya.

“Pakai masker lumpur laut mati yang Bunda belikan kemarin. Jangan lupa pakai juga scrub garam Himalaya yang Bunda letakkan di sebelahnya. Coba kamu cari di dalam laci lemarimu. Sepertinya Bunda masukkan disana.” Bunda terus mengoceh tentang manfaat masker lumpur laut mati yang harganya cukup mahal dibandingkan masker yang biasa ditemukan di supermarket. Bunda juga menyinggung masalah kulit seperti jerawat yang bisa dihilangkan dengan masker berwarna abu-abu gelap itu.

Echa masih tetap menyangga kepala dengan kedua telapak tangannya seperti kuncup bunga. Tapi wajahnya yang murung dan tak bersemangat justru membuatnya terlihat jutek. Ia mendengar apa yang dikatakan Bunda namun ia terlalu malas untuk menurutinya. Ia juga tak peduli kalau jerawatnya malah tambah besar dan meninggalkan bekas di kemudian hari.

Bunda meletakkan mixer di tengah-tengah kumpulan bahan kue yang berserakan di atas meja. Mentega yang warnanya kuning pucat Bunda masukkan ke dalam mangkuk besar untuk dicampurkan dengan gula pasir, pewarna makanan berwarna merah beberapa tetes, telur, dan satu bahan yang amat Echa sukai.

“Hmm… Vanilla,” ujar Echa pelan sambil menghirup napas dalam. Kedua mata bulatnya mengikuti pergerakan tangan Bunda yang sedang memegangi mixer dan memutarnya sampai adonan menjadi halus dan tidak bergerindil.

Bunda tertawa singkat. Ia mendengar ucapan Echa meski samar-samar karena suara mesin mixer yang masih menyala. “Kamu daritadi diam saja dan baru bicara karena Bunda menuangkan ini?” Bunda mengangkat botol ekstrak vanilla yang sisa setengah itu ke samping wajahnya.

Echa tersenyum lebar sekali sampai giginya terlihat, mengingatkan Bunda akan foto-foto masa kecil anak gadisnya yang kini sudah berumur tujuh belas tahun. Echa masih suka tersenyum sampai sekarang, tetapi ia jarang sekali memperlihatkan senyum lebar bahagia yang persis sama dengan senyumnya saat ia masih kecil. Dan sejak dulu rasa sukanya pada vanilla tidak pernah hilang.

“Apa gara-gara Bunda mau bikin kue kamu jadi nggak bad mood lagi?”

Echa berpikir sejenak sebelum menjawab dengan mulut mengerucut. “Mungkin.”

Bunda menggeleng. “Anak remaja labil sekali, ya,” ujar Bunda sembari memasukkan loyang bulat berdiameter dua puluh sentimeter ke dalam oven yang sudah panas dengan sarung tangan bermotif bunga mawar merah.

Echa mendengus. Andai saja ia memiliki bakat yang sama dengan Bunda. Bunda itu adalah sosok ibu yang mendekati sempurna. Bunda jago memasak dan membuat kue. Bunda juga memiliki bisnis bahan-bahan kue, termasuk memproduksi ekstrak vanilla dan pasta vanilla halal yang laris manis terjual hingga ke seluruh pelosok negeri meski hanya melalui media sosial.

Saat Echa masih SD, Bunda mengajaknya berkunjung ke petani Vanilla di Pati, Jawa Tengah. Berawal dari sana, Bunda ingin memberdayakan para petani itu dengan cara membeli hasil panennya. Belum banyak orang yang tahu tentang tumbuhan yang dijuluki emas hijau ini. Butuh waktu beberapa tahun sampai akhirnya Bunda berhasil mendapat banyak pelanggan yang sama-sama memiliki hobi membuat kue sebab harga produknya yang tak murah.

Bila Echa memiliki bakat yang sama dengan Bunda, mungkin ia tak perlu repot-repot mengerjakan perintah Dona untuk mewawancarai siswa-siswi berprestasi kalau nyatanya tak akan dipajang seperti ini. Kali ini Dona dengan enteng mengatakan bahwa sudah ada tulisan lain yang lebih menarik untuk dipajang di edisi minggu depan. Padahal Echa sudah melakukan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin di sela-sela tugas sekolah yang menumpuk. Semalam ia bahkan hanya tidur selama empat jam karena ia bekerja keras membuat tulisan yang jauh lebih bagus agar Dona mau menerimanya. Namun ia harus menelan kenyataan pahit untuk kali kedua. Setidaknya Echa bersyukur saat di hadapan Dona ia bisa menahan emosi dan tidak mengeluarkan kata-kata yang bisa memicu pertengkaran dengan gadis berambut ikal sepinggang itu.

“Apa sebaiknya aku keluar saja dari klub mading?” ucap Echa lirih.

“Jangan, dong,” sahut Bunda tiba-tiba, mengagetkan Echa yang larut dalam pikirannya sendiri. Ia tak sadar Bunda telah duduk di sebelahnya, merapikan tepung terigu yang berhamburan di atas meja dengan tisu.

“Bunda, aku kaget,” rengek Echa sambil mengelus dadanya dengan wajah ditekuk.

“Maaf, deh. Tapi Bunda dengar, lho, ucapanmu barusan. Ada apa, sih? Bunda mau tahu,” kata Bunda persuasif. Echa memang harus dipancing dulu baru mau cerita. Maka dari itu Bunda sengaja menunggu momen tepat untuk mencari biang kerok yang menyebabkan anak perempuan satu-satunya itu kesal.

Echa akhirnya menceritakan masalah yang ia hadapi di klub mading. Ia merasa Dona sengaja memperlakukannya dengan tidak adil. Bila ditanya mengapa ia menganggap Dona berbuat jahat padanya, Echa sama sekali tak tahu alasannya. Pikiran-pikiran buruk terus menghantuinya. Ia menganggap kehadirannya di klub mading tak dibutuhkan. Buktinya Dona menolak hasil liputan Echa dua kali berturut-turut. Echa merasa antusiasme yang ia rasakan saat ia masuk klub mading berangsur-angsur menghilang. Mungkin sekarang ia harus menyerah saja daripada hasil karyanya tak dihargai.

Bunda beranjak dari duduk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Echa memandangi punggung Bunda yang berjalan menuju oven, kemudian mengeluarkan loyang untuk didinginkan di atas rak pendingin.

“Apa yang kamu cium?” tanya Bunda tiba-tiba setelah keheningan sesaat.

“Aroma kue?” jawab Echa ragu sambil mengernyitkan dahi. Apa lagi yang bisa ia cium selain aroma lezat dari kue red velvet buatan Bunda?

“Apa yang membuatnya bisa seharum ini?” tanya Bunda lagi, semakin membuat Echa bingung mengapa Bunda memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tak berhubungan dengan curhatannya.

“Karena vanilla?” Sedikit banyak Echa pernah dengar kalau vanilla bisa menyamarkan bau amis telur.

“Sebenarnya vanilla bukan hanya berfungsi untuk meningkatkan aroma, tetapi juga kualitas dan cita rasa.”

Echa manggut-manggut paham. Selama dia hidup, tak terhitung lagi jumlah makanan dan minuman rasa vanilla yang ia konsumsi. Rasa dan aromanya yang tak membosankan membuat Echa merasa senang menyantapnya.

Bunda menjelaskan asal-usul vanilla, yang sudah dikonsumsi oleh suku Maya dan Aztec sebelum para bangsawan, pembuat kue, dan pembuat parfum di Eropa berbondong-bondong menggunakannya. Hingga beratus-ratus tahun lamanya rasa yang begitu familiar di lidah ini tetap menjadi kesukaan banyak orang. Echa sebelumnya tak pernah berpikir tentang hal ini, tapi ternyata untuk menghasilkan sebotol ekstrak vanilla seperti yang Bunda pegang membutuhkan perjuangan yang besar.

“Karena untuk mengembangbiakkan tanaman ini membutuhkan kesabaran dan keuletan. Tak semua petani vanilla bisa berhasil.” Bunda mengingat-ingat kejadian di masa lampau, dimana beberapa petani di Pati mengalami kerugian akibat belum mengetahui cara membudidayakan vanilla dengan benar. 

“Tak semudah menanam cabai di halaman, ya, Bun?” celetuk Echa.

“Iya, betul itu. Dan yang paling menakjubkan adalah, meski vanilla tidak bisa dikonsumsi kalau tidak dicampur bahan lain layaknya garam, kue apapun itu bila tanpa vanilla rasanya akan berbeda jauh dengan kue yang dicampur dengannya. Contohnya, kue cokelat yang Bunda buat sebulan lalu. Ekstrak vanilla yang bercampur dengan cokelat menciptakan perpaduan rasa yang tidak bisa digantikan dengan bahan lain.”

Echa hapal benar rasa kue cokelat dengan tingkat kemanisan pas itu. Beberapa sanak saudara dan tetangga yang sudah pernah mencicipi pasti akan memuji betapa berbakatnya Bunda. Mereka tidak tahu kalau Bunda memiliki bahan rahasia yaitu vanilla yang selalu ada di dalam laci dapur.

“Jadi yang harus kamu lakukan sekarang, segera bubuhkan beberapa tetes vanilla ke dalam hidupmu.”

“Maksudnya, Bun?” Wajah rileks Echa kini berubah bingung lagi. Perbincangannya dengan Bunda yang ia kira tidak ada maksud dibaliknya itu nyatanya justru memiliki arti yang sangat ingin ia dengar.

“Belajarlah dari vanilla. Rasa yang tak lekang oleh waktu ini memberi pelajaran tak terduga bagi hidup kita. Bila kita memiliki impian, bakat saja tidak cukup. Meski berbakat sejak lahir sekalipun kalau tak diasah maka tak akan berguna. Bunda butuh banyak pengalaman di dapur demi bisa menghasilkan makanan enak karena memang suka memasak dan membuat kue. Bukankah sejak kecil kamu suka menulis?”

Echa mengangguk. Sejak dulu ia selalu suka menulis apa saja di buku catatan. Entah sebuah cerita pendek yang terhenti di tengah jalan atau luapan perasaannya hari itu. Hingga suatu saat ia memutuskan untuk masuk ke klub mading dan bercita-cita ingin menjadi jurnalis dengan alasan ingin menyuarakan pendapat orang-orang kecil.

“Ingat lagi alasan mengapa suka menulis. Dalam mengejar mimpi, akan selalu ada halangan yang menghambat. Tapi ada satu hal penting yang selalu harus kita ingat yaitu niat tulus. Itulah vanilla yang Bunda maksud. Niat baik itu yang Bunda sebut sebagai vanilla dalam hidup kita.”

Wajah bingung Echa sedikit demi sedikit berubah cerah. Otaknya sedari tadi sibuk mengaitkan hubungan antara niat yang baik dan tulus dengan peran vanilla dalam makanan dan minuman. Niat dalam hati bagaikan vanilla, yang dapat meningkatkan cita rasa dan kualitas hidupnya sendiri. Dan niat itu takkan bisa tergantikan. Bakat dan ketekunan saja tidak akan pernah cukup.

“Menghasilkan niat yang tulus dan merawatnya itu sulit. Bahkan mudah gagal kalau tidak bisa menghadapi rintangan yang menghadang. Contohnya kondisi yang Echa hadapi saat ini,” ujar Bunda. 

“Tapi niat baik itu kan yang akan membuat orang lain bisa merasakan ketulusan kita, Bun? Wujudnya memang tak terlihat, tapi perasaannya akan sampai ke hati orang lain,” sahut Echa sambil tersenyum mengerti.

“Ya. Hal itu pula yang membuat jerih payah kita selalu diingat. Dan jangan pernah iri dengan kemampuan orang lain karena kita sendiri yang harus meramu adonan bakat sedemikian rupa demi tercapainya impian yang juga berbeda-beda.” Bunda mengakhiri perbincangan tentang vanilla itu dengan menyuap sepotong kue red velvet lembut dan langsung lumer di mulut.

Echa turut mengambil sepotong kue, memasukannya ke dalam mulut, dan mengunyahnya perlahan untuk meresapi rasanya. Kini vanilla bukan hanya sekadar sebuah rasa dan aroma bagi Echa, tetapi juga inspirasi baginya.


BIOGRAFI PENULIS

Elsa Malinda lahir di Balikpapan, 18 Maret 1994. Elsa tinggal di Jalan Marsma Iswahyudi Komplek Pondok Karya Agung BAA 58 RT 13 Balikpapan Selatan, Kalimantan Timur. Nomor whatsappnya adalah 085247217084. Hobinya adalah mencari inspirasi untuk terus menulis dimana saja ia berada. Karyanya pernah dimuat di Kaltim Post (Kisah Putri Zenya dan Meghan, 2009 dan Deman Jokowi, 2013), Majalah Imut (Adikku Gina) dan pada awal 2017 menerbitkan kumcernak pertamanya yang berjudul Pangeran Tikus.