Do’a dan Politik Kekuasaan -->
Cari Berita

Advertisement

Do’a dan Politik Kekuasaan

Redaksi
Senin, 04 Februari 2019

Do’a dan Politik Kekuasaan
Achmad Nur. MA (Dosen STAINH dan Ketua Lakpesdam NU Situbondo)

ARTIKEL, (Ruangaspirasi.net) Kuasa merupakan kekuatan yang seksional dan berpengaruh dalam dimensi kehidupan. Apapun dan siapapun yang berhubungan dengan kekuasan akan menjadi perhatian bahkan menjadi perbincangan publik. Pernyataan diatas tampak jelas pada fenomena perebutan legitimasi do’a yang dipanjatkan oleh Mbah kyai Maimun Zubair sebagai tokoh karismatik pada saat menerima kunjungan presiden RI Joko Widodo bersama istri. Pada saat salah satu nama Capres terungkap dan terkatakan dalam panjatan do'a, maka pada saat itulah kuasa bermain dalam memori pendengar terlebih para pihak yang terlibat dalam suksesi pemenangan Capres dan Cawapres. Dari sinilah interpretasi dan legitimasi muncul mencari ruang eksistensi. Terlepas dari perebutan legitimasi untuk siapa arah do'a dipanjatkan, tulisan ini akan melihat pentingnya kekuatan komunikasi transenden dalam mengatur gerak langkah kehidupan manusia.

Do’a menurut Alexis Carrel sebagaimana dikutip oleh Ali Syariati merupakan pusaka yang kerapkali menyertai para pendo'a. Orang yang berdo'a akan mendapat pantulan cahaya dari bacaan do’a dan ritualitas ibadah yang dilakukan.  Oleh karena sebagai pusaka, maka do’a harus berakar dari kekuatan, keyakinan, kesinambungan dan keikhlasan. Berdasar pada definisi tersebut, lebih lanjut Alexis mengatakan bahwa do’a bukanlah cara memenuhi kebutuhan semata, melainkan cara mewujudkan cinta. Manakala kalbu hanya berisi cinta murni, cinta tersebut pastilah tulus, suci dan sejati. Dengan demikian do'a dan munajat merupakan representasi cinta dan pantulan hasrat spiritual pada manusia.

Ketika para pendo'a (yang memimpin do'a dan yang mengamini do'a) mengangkat tangan bermunajat dan berdo'a pada Allah, pada saat itulah cinta mengalir dan bersemayam dalam dirinya. Hanya melalui hasrat spiritual bernada cinta inilah, keseriusan dan ketulusan seorang hamba semakin dipertunjukkan pada tuhannya. Berdasar pada prinsip ketulusan tersebut, suatu permohanan menjadi petimbangan utama bagi sang pengabul do'a.

Pada saat manusia berdo'a, maka nilai kemanusian (cinta) menjadi sarana untuk menggapai nilai transendensi (ketuhanan).  Menurut Abraham maslow, transendensi ego merupakan pemusatan sikap  seseorang dalam menjalankan aktifitas berdasar kecintaan, konsistensi, terhadap pemenuhan tujuan tersebut. Artinya melepaskan kepentingan kepentingan personal yang ada dalam dirinya, guna mewujudkan dan mengutamakan kepentingan umat. Ketika Mbah Maimun berdo'a untuk keselamatan dan kesuksesan Presiden dan Calon Presiden, maka hasrat individual melebur menjadi hasrat sosial yang bertujuan untuk kepentingan bangsa dan Negera Republik Indonesia. Dikatakan demikian, karena dibalik jabatan seorang presiden bersemayam amanah bangsa dan negara.

Dalam ritualitas do’a, Tuhan dilibatkan sebagai referensi, dan orientasi hidup. Secara implisit kekuatan, dan keimanan akan keberadaan dan kekuasaan tuhan menempati posisi utama pada waktu berdo'a. Dalam pandangan Thomas Aquinas, Tuhan sebagai “ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistensi). Tuhan sebagai penggerak yang tak bergerak, dzat tertinggi dan mempunyai keadaan paling tinggi. Oleh karena Tuhan merupakan kekuatan utama dan pertama, maka dalam mengawal langkah kehidupan, doa menjadi cara pertama yang dipersembahkan pada Tuhan sebelum di perkuat dengan tindakan. Dalam teori manajemen, doa disebut sebagai action plan yaitu rencana rencana yang akan diwujudkan dalam tindakan.

Berdasar analisa di atas, tampak jelas bahwa  agama bukan hanya merupakan bentuk pengalaman kehidupan individu melainkan agama juga menjelma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pernyataan ini diperkuat oleh soiolog ternama Jean Jacques Roesseau yang dikenal dengan teori kontak sosial. Menurutnya ada tiga jenis agama: Pertama, agama manusia yaitu agama individual yang hanya menekankan pada pemujaan tuhan yang maha mulia yang berada dalam hatinya dan kewajiban moral yang abadi tanpa harus terbayangi atau terbebani oleh kuil, altar dan ritus. Kedua, agama warga yaitu agama sosial yang dianut oleh masyarakat dari bangsanya. jenis ini, perilaku keagamaan juga meibatkan unsur ritualitas, tempat ibadah yang sudah diatur oleh undang-undang. Ketiga, agama yang tidak ada nama, namun mengandung makna yang oleh Roesseau disebut sebagai agama aneh memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua tanah air, memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan menghalangi mereka menjadi orang saleh dan juga warga Negara.

Ketiga jenis agama tersebut oleh Roesseau dinilai memiliki kekurangan karena ditengarai menghancurkan kesatuan sosial. Berangkat dari inilah, tawaran yang diberikannya berupa agama sipil walaupun tidak jelas bentuknya, namun yang diidamkannya adalah sebuah bentuk agama yang memberikan inspirasi kepada rakyatnya untuk membela Negara sebagaimana membela agamanya. Agama yang dinginkannya harus mampu menjadi perajut perpecahan, dan mampu mempersatukan rakyat dalam perasaan kebersamaan sosial.

Pesan berharga yang bisa diterjemahkan dalam kehidupan politik saat ini adalah Pertama, kekuasaan atau jabatan politik harus berlandaskan kekuatan agama yang mengayomi dan berpihak pada bangsa dan Negara. Kedua, Tuhan yang terangkai dalam bahasa do’a harus menjiwai seluruh keinginan, kepentingan dan kebutuhan. Ketiga, keberhasilan dari sebuah keinginan dan permohonan merupakan amanah tuhan dan manusia untuk dipertanggungjawabkan secara baik dan benar. Akhir kata “tuhan adalah dzat maha kuasa, maka letakkan dan serahkanlah kekuasaan pada pemiliknya”.

Penulis: Achmad Nur. MA
Dosen STAINH dan Ketua Lakpesdam NU Situbondo