Penulis: Nida Miskia
Email: Nidamiskia@gmail.com
ARTIKEL (Ruangaspirasi.net) Pengetahuan sejarah dapat menuntun masyarakat untuk menempatkan diri sehingga mengetahui ke mana ia akan bergerak di masa depan. Identitas dan kedudukan suatu bangsa dapat diketahui dengan berbekal pengetahuan masa lampau (Kartodirdjo, S., 1982: 11). Penulisan sejarah sangat diperlukan untuk menekan beredarnya cerita lisan atau dongeng yang mengakibatkan adanya penambahan dan pengurangan cerita dari peristiwa sejarah yang sebenarnya. Maka dari itu, unsur subyektifitas dalam penulisan sejarah perlu ditekan atau bahkan dihindari agar dihasilkan karya sejarah yang obyektif. Penyajian tulisan sejarah bukan berarti peristiwa yang persis sama dengan peristiwa masa lampau, akan tetapi kebenaran karya tersebut dapat dipandang cukup asal mendekati peristiwa yang sebenarnya.
Berkaca pada konteks pengetahuan sejarah tersebut, kemudian penulis terdorong untuk mengungkap salah satu dari sekian banyak peristiwa yang terjadi sekitar kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa lokal, akan tetapi masih merupakan bagian dari sejarah nasional, yaitu peristiwa Agresi Militer Belanda I yang terjadi di Situbondo atau lebih tepatnya mengenai Perjuangan Rakyat Situbondo Pada Masa Agresi Militer Belanda I Tahun 1947. Perjuangan dapat diartikan sebagai perkelahian merebut kekuasaan, usaha serta salah satu wujud interaksi sosial seperti konflik, pelanggaran, dan persaingan.
Peristiwa Agresi Militer Belanda I terjadi pada tahun 1947, tepatnya pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda mengingkari dan menyatakan tidak terikat lagi pada Perjanjian Linggarjati.
Pada Minggu ketiga bulan Juli 1947 pasukan Belanda mendarat di Kabupaten Situbondo daerah Besuki, tepatnya di Pantai Pasir Putih (Mashoed, 2004: 80). Situbondo merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Kabupaten atau Kota Situbondo saat ini memiliki 17 kecamatan, yang terdiri dari Kecamatan Banyuputih, Asembagus, Arjasa, Jangkar, Kapongan, Panji, Situbondo, Mangaran, Panarukan, Kendit, Bungatan, Mlandingan, Suboh, Besuki, Banyuglugur, Jatibanteng, dan Sumbermalang.
Agresi Militer Belanda I ialah penyerangan yang dilakukan oleh Belanda dalam usahanya menduduki wilayah Situbondo untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia pasca Perang Dunia II (PD II). Sejak penyerangan Belanda tersebut, rakyat Situbondo melakukan berbagai perlawanan baik dari kalangan masyarakat sipil maupun dari kalangan pemerintah. Perlawanan ini terjadi hingga akhir Agresi Militer Belanda I yaitu tanggal 4 Agustus 1947. Selain itu, juga tercatat berbagai perlawanan dari rakyat Situbondo pasca Agresi Militer Belanda I hingga tanggal 27 Oktober 1947 (Mustafa, M.L., 1990: 60). Agresi Militer Belanda I terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera. Wilayah ini menjadi sasaran Agresi Militer Belanda I karena dipandang sebagai daerah penting dari segi ekonomi, yaitu sebagai daerah perkebunan dan industri gula pada zaman pemerintahan Hindia-Belanda (Yuliani, E., 2014: 3). Begitu juga dengan wilayah Kabupaten Situbondo dan daerah sekitarnya, seperti eks-karesidenan Besuki, antara lain Bondowoso, Jember, dan Banyuwangi yang juga merupakan daerah perkebunan karet, kopi, tebu, dan tembakau. Pada wilayah ini juga terdapat banyak industri gula yang beroperasi sejak zaman kolonial, bahkan banyak yang masih beroperasi hingga sekarang seperti Pabrik Gula Wringin Anom (Situbondo), Pabrik Gula Olean (Situbondo), Pabrik Gula Panji (Situbondo), Pabrik Gula Asembagus (Situbondo), Pabrik Gula Prajekan (Bondowoso), Pabrik Gula Semboro (Jember), dan masih banyak lagi pabrik gula yang sudah non aktif saat ini.
Terdapat beberapa hal penting terkait pertanyaan, mengapa pengetahuan sejarah terkait Agresi Militer Belanda I perlu disampaikan? Karena perjuangan dan pengorbanan rakyat Situbondo untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia perlu diabadikan dan diwariskan pada generasi selanjutnya. Terdapat peran bangsa Indonesia khususnya pada wilayah timur pulau Jawa, eks Karesidenan Besuki (wilayah Situbondo saat ini) dalam mempertahankan wilayah dari serangan tentara Belanda yang melancarkan Agresi Militer Belanda I untuk mendesak membatalkan persetujuan Linggarjati serta perlunya mengabadikan peristiwa tersebut dalam bentuk tulisan dengan tujuan untuk diketahui oleh generasi selanjutnya.
*Belanda Berusaha Menduduki Kembali Indonesia Dengan Melanggar Perjanjian Linggarjati
Indonesia telah dijajah oleh Belanda selama kurang lebih 350 tahun atau selama 3,5 abad lamanya. Untuk mencapai kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mengalami banyak perjuangan dan peperangan. Ada yang dilakukan secara kooperatif dengan pemerintah kolonial, maupun perjuangan yang dilakukan secara radikal melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah sekian lama penjajahan dilakukan dengan berbagai perlawanan dari rakyat pribumi, kemudian Belanda berhasil dikalahkan oleh Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Jepang berhasil menarik hati para penduduk pribumi Indonesia dengan mengaku sebagai saudara tua dan sebagai pelindung Asia. Penduduk yang sedang dilema akan penjajahan Belanda yang dinilai semakin kejam dengan mudahnya percaya dan mendukung pendudukan Jepang. Namun pada kenyataannya Jepang hanya memanfaatkan penduduk pribumi untuk kebutuhannya dalam berperang melawan Sekutu, baik dalam segi Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Setelah kurang lebih 3 tahun dijajah oleh Jepang, kemudian pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan mengumumkan kekalahannya. Dalam kekosongan kekuasaan tersebut kemudian bangsa Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada 29 September 1945 di bawah pimpinan Letnan Phillip Christison sebagai Panglima Besar Alliet Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang akan melaksanakan tugas untuk membebaskan tawanan perang dan interneran. Pada awal kedatangannya, sikap Indonesia netral. Namun setelah diketahui bahwa tentara Sekutu diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) untuk mendirikan pemerintahan Sipil Hindia Belanda, maka sikap Indonesia berbeda.
Sebagai upaya untuk meredam konflik antara Belanda dan Indonesia, kemudian dilakukan Perundingan Linggarjati. Isi pokok persetujuan tersebut, antara lain:
- Belanda mengakui kedaulatan de facto Republik Indonesia di seluruh Jawa, Madura, dan Sumatera.
- Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia akan bersama-sama membentuk suatu negara Indonesia yang berdaulat dan demokratis serta bersifat federal dengan nama Negara Indonesia Serikat.
- Negara Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda akan membentuk suatu unit yang dikepalai oleh raja Belanda, dan akan bekerjasama dalam bidang luar negeri, pertahanan, keuangan, ekonomi dan budaya.
- Negara Indonesia Serikat dan Uni harus terselenggarakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
- Segera sesudah persetujuan, kedua belah pihak akan mengurangi kekuatan angkatan perang masing-masing.
Sebelum Belanda melancarkan serangannya di wilayah Situbondo, tentara Belanda terlebih dahulu menyebarkan pamflet-pamflet dari dari pesawat yang menyampaikan pesan agar tentara segera menyerah dan agar pemuda-pemuda pun menyerah. Setelah menyebarkan pamflet tersebut Belanda mengarahkan armada lautnya pada tanggal 21 Juli 1947 pukul 06.00 WIB di Pantai Pasir Putih Situbondo. Belanda juga melakukan tembakan untuk mengintai dan menakuti para pejuang agar menyerah.
Setelah Situbondo dinyatakan dalam kondisi bahaya perang, kemudian Letkol Tahiruddin Tjokroatmojo memerintahkan agar semua sektor komandan baik militer maupun kelaskaran untuk mengkoordinir semua kegiatan dan kekuatannya masing-masing. Namun pada awal-awal sejak pendaratan Belanda, para pejuang tidak banyak memberikan perlawanan. Namun, mereka hanya berusaha menghalang-halangi gerakan pasukan musuh untuk kemudian menyingkir ke tempat-tempat yang sudah dipersiapkan sebagai kubu, dari mana mereka akan melancarkan operasi gerilyanya (Tobing, K., 1986: 130).
*Organisasi - Organisasi Perlawanan Terhadap Belanda
Dalam perjuangan melawan Belanda, banyak organisasi di Situbondo bergabung dan bekerjasama dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia seperti BKR, Hisbullah, Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Benteng Republik Indonesia (BRI) (Mustafa, M.L., 1990: 33-34).
Daerah Karesidenan Besuki atau Situbondo pada saat itu mengalami keterlambatan dalam pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), hal ini dikarenakan berita tentang pembentukan BKR sangat lambat. Berita tentang pembentukan BKR tersebut baru didengar melalui pejuang-pejuang yang datang dari kantor daerah lainnya. Sebelum dibentuknya BKR, Karesidenan Besuki telah terlebih dahulu membentuk AM atau Barisan Angkatan Muda (Ohorella, dkk., 2001: 46).
*Peristiwa-Peristiwa Perlawanan Rakyat Situbondo Terhadap Agresi Militer Belanda I
Peristiwa Ghaladak Dalam
Ghaladak Dalam merupakan sebuah jembatan di daerah Jangkar yang dijadikan sebagai pertahanan. Pada tanggal 31 Agustus 1947, tentara Belanda menyerang dengan dua pesawat jenis Mustang dan Catalina. Jika diperhatikan dari gerak gerik pesawat yang terbang dengan cara menukik, mendatar, dan terbang tinggi kemudian sambil mengeluarkan peluru terlihat jelas bahwa tentara Belanda sedang menguji nyali para pejuang Situbondo yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang telah disebutkan sebelumnya. Di sisi lain, terlihat beberapa tentara Belanda berjalan melewati Jembatan Ghaladhak Dalam yang telah diberi jebakan berupa galian lubang yang ditutup dengan dedauanan. Pada pertempuran ini, Letnan Nidin gugur ketika konsentrasinya terpusat untuk membidik pesawat Catalina, tentara Belanda dari arah utara jembatan menembak Letnan Nidin tepat di bagian perut. Sehari setelah itu, Letnan Nidin gugur.
Peristiwa Banyuputih
Tepat tanggal 19 Agustus 1947, tentara Belanda bergerak dari arah Banyuwangi menuju Asembagus. Dari perbukitan di Karang Tekok, kecamatan Banyuputih, tentara Belanda menghambur-hamburkan peluru ke perkampungan. Setelah itu, tentara Belanda turun ke perkampungan dan menembaki siapa saja yang dilihatnya. Karena kesal, salah seorang warga menusuk tentara Belanda. Hal ini membuat tentara Belanda marah dan kembali menembak secara membabi buta. Setelah puas, kemudian mereka kembali lagi ke arah Banyuwangi.
Selain peristiwa yang terjadi di Jangkar dan Banyuputih tersebut, juga terjadi peristiwa perlawanan di daerah Arjasa dan Asembagus.
**Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, apabila terdapat ketidakvalidan data.
**Sumber Rujukan
- Berdoeri, T. 2004. Indonesia dalam Api dan Bara. Jakarta: ELKASA.
- Kartodirdjo, S. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
- Mashoed. 2004. Sejarah dan Budaya Bondowoso. Surabaya: Papyrus.
- Mustafa, M.L. 1990. Laskar Sabilillah pada Agresi Militer Belanda I di Situbondo. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
- Ohorella, dkk. 2001. Peranan Rakyat Besuki (Jawa Timur) Pada Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950. Jakarta: CV. Sukorejo Bersinar.
- Tobing, K. 1986. Perjuangan Politik Indonesia Linggarjati. Jakarta: PT. Gunung Agung.