Terorisme Zaman Now "Kritik Terhadap Politik Individualistik" -->
Cari Berita

Advertisement

Terorisme Zaman Now "Kritik Terhadap Politik Individualistik"

Kamis, 19 April 2018

Sumber Goggle
Gambar Ilustrasi Sumber Goggle
ARTIKEL, (Ruangaspirasi.me) Sebuah kata diawali dengan “Tempat” Manusia merupakan tempatnya “Lupa dan Salah”. Kata inilah yang akan saya refleksikan dan aksikan dalam suara-suara sumbang ini. Saya katakan demikian, karena saya terilhami dengan pemikiran seorang revolusioner berkebangsaan Brasil, pastinya sebagai siswa yang maha, pastilah sudah tidak asing lagi, yakni Paulo Freire. Seorang yang selalu menyuarakan akan ketidak adilan para kaum-kaum proletar, seperti halnya saya kaum yang selalu menyuarakan anti akan oportunisme. 

Sepakat akan perkataan bapak pembangunan Papua Lukas Enembe, “Politik yang ditempatkan pada kepentingan sesaat hanya akan melahirkan sifat oportunis dan keserakahan,” (Lukas Enembe, 2016).  Jadi yang dibutuhkan dan harus segera kita bangun serta usahakan adalah Terapi ‘memberi dan berbagi serta menanam pohon politik kasih’. 

Kembali penulis katakan bahwa, dimanapun kita berada pasti akan bersingungan dengan problem, perang, bencana alam, penyakit, kemiskinan, korupsi, dan malapetaka lainnya, yang mana semua itu membuat jutaan orang menderita, hingga setiap hari menghadapi hal-hal yang mengkawatirkan. Mengapa demikian pelik kehidupan ini, sebab manusia selalu melupa dan menyalah. Siapa yang bisa menolong kita ? Apakah ada yang peduli ? 

Siapa yang bisa menolong kita? Berbicara siapa pasti akan sangat subyektif, saya lebih sepakat dengan Apa tanpa Si, karena kata Si lebih identik dan berkonotasi dengan “Rasis atau Sinis”, dimana dalam KBBI, kata Si di maknai kurang lebih “ Suatu kata yang menyatakan seseorang dalam hal melakukan atau terkena sesuatu, juga dapat kata yang dipakai di depan kata sifat untuk timang-timangan, pujian, panggilan, ejekan, disebut yang menyatakan bahwa yg disebut itu mempunyai sesuatu atau menyerupai sesuatu yang sama dengan sebutan itu.”  

Oleh karena itu bijak bila saya mengatakan Apa yang bisa menolong kita? Saya dengan sadar mengatakan “Din atau Agama”, seorang pelaku Tarekat lebih tepatnya wakil talkin pada sebuah Tarekat, sering berkata dalam sebuah diskusi diruang kuliah, ‘Agama yang bagaimana?’ dengan senyum ku katakan Agama bagi mereka yang berfikir, tidak ada Agama bagi mereka yang tidak berfikir. Namun itu pun masih paradoks, karena dengan begitu kita dapat taklid dalam pemikiran dualistik logika Syaeh Aristoteles. Erich Fromm mengatakan “Pengetahuan bukan dalam pikiran yang benar, tetapi dalam perbuatan yang tepat.” 

Dari asal katanya saja Agama adalah ‘Tidak Kacau’ dengan begitu manusia yang beragama seharus dapat berperilaku tidak kacau, walaupun dalam realitas berfikir manusia sering terjadi falasi atau kesalahan atau lebih radikalnya adalah melakukan kekacauan. Sebab manusia adalah tempat kesalahan entah dalam kepercayaan atau ideologi. Manusia yang menurut Susane Laner dan Ernest Cassirer, adalah “Homo Simbolicum.” Manusia yang memerluhkan simbol dalam hidupnya.  

Dengan demikian muncullah agama sebagai aksi dari sebuah simbol, manusia akan dengan bangga dan bahkan rela mati demi simbol tersebut (Agama). Agama dalam susunan kata pasti tidak dapat berdiri sendiri entah dengan subyek ataupun objek. Belakangan ini Agama Islam dibicarakan sebagai biang kerok terjadinya ketidak damaian kehidupan manusia, Islam menjadi terdeskreditkan bahkan termarginalkan dari peradaban dunia, berbicara Islam ujugk-ujuk muncul legitimasi kekacauan, brutal, dan yang paling parah Praktisi Teroris. Tertawa telinga ini mendengar lebel, pengecapan, atau ocehan tersebut, saya katakan kemabali bukankah manusia itulah yang tempatnya lupa dan salah, jadi jangan serta merta langsung menyalahkan agama Islam. 

Pastilah kita sebagai manusia tak akan lupa peristiwa teragis dan berdarah di dalam persejarahan dunia, seperti kata sang proklamataor kita Bung Karno, “Jas merah” jangan lupakan sejarah. Sejarah peperangan yang kemudian kita kenal dengan Perang Duni 1 atau Great War, War of the Nation, juga War to End All War (perang untuk mengakhiri semua perang) (Agus N. Cahyo, 2013).  

Perang yang diawali dengan ego sebagian atau sekelompok negara, kemudian terjadilah perlombaan senjata antara 1901-1913, dan puncaknya terjadi dengan adanya peristiwa 28 Juli 1914, yakni tewasnya Pangeran Franz Ferdinand akibat diterjang timah panas dari sebuah pistol oleh seorang pemuda. Kemudian pemuda tersebut ditangkap dan diintrogasi. Dalam pandangan pemuda tersebut, yang dia tahu sang pangeran harus mati, sang Tiranik tak pantas untuk hidup. Dalam pengakuannya di persidangan, dengan tegas pemuda tersebut mengatakan, “Saya bertindak atas nama Serbia.” Genderang perang pun meletup. 

Saya sepakat dengan pemikiran Karen Armstrong dalam bukunya The Battel’s of God, terorisme lahir dari kekecewaan terhadap modernisasi dan ketidakadilan para super power dunia dewasa ini. “Jika kalian memakai agama karena terorisme itu, maka kalian sama bodohnya dengan para teroris itu,” ujar Armstrong dan celetuk Fauz Noor. 

Inilah yang perluh diperbarui saat ini, perilaku teror yang marak terjadi sekarang ini adalah terorisme, sebab yang mereka perbuat hanya atas dasar oportunis, ada egoisme yang mereka suarakan. Sekali lagi risalah Muhammad, tidak sedikit ataupun secuil mengajarkan tentang peperangan, meyakiti, atau bahkan memusnahkan manusia secara tidak manuiswi. Tololisme yang dibanggakan oleh kebanyakan teroris zaman now kalo mengutip bahasa filosofis, “Teror untuk Teror”, senyum Fauz Noor. 

Bagaimana tidak teror untuk teror, mereka melakukan gerakan dengan harapan agar terjadi propaganda-propaganda atau sebuah kerusuhan, bukan lagi “Perubahan” yang didamba-dambakan. Yang tepenting hasil dari perbuatanya tersebut berdampak baik akan diri, kelompok, dan yang amat penting yakni perilaku yang berlandaskan atas kepentingan-kepentingan.  

Berbeda dengan pemicu perang dunai 1, yang dilakukan oleh pemuda tersebut lebih tegas, berani, dan logis. Sebuah perubahan besar dari sajarahlah yang didamba-dambakan, perilaku pemuda itu lebih kepada ketidak puasan yang terjadi akibat tindakan sewenang-wenag kaum Tiranik. Aristoteles pernah berkata, “Kebencian terhadap Tiranik adalah suatu yang tidak dapat terelakan.” Benci terhadap negara super power, kepada Amerika, dan para koleganya, tetapi mengapa melakukan kekerasan, pengeboman di bangsa sendiri. Benar kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih susuah karena welawan bangsa sendiri.” Sungguh suatu Tololisme. 

Hilangnya rasa akan memberi dan berbagi pada tiap peribadi manusia, serta kuranganya rasa akan kemanusiawian antar makhluk, ditambah lagi tidak pahamnya para petinggi dengan teori Politik Kasih. Menjadi suatu PR besar bagi kita semua selaku manusia yang mengaku manusiawi, Manusia dengan Awi, agar mengaksikan suatau gerakan perubahan demi munculnya suatu keharmoniasan, keselarasan alam nan Asyik ini.  

Dalam buku kumpulan essay yang berjudul Marginalia, karya Fauz Noor, tentang Memeluk Agama dan Dipeluk Agama. orang yang memeluk agama dalam pandangan Clifford Greetz, cenderung terhadap keraguaan lebih memerluhkan pemahaman secara mendalam, berbeda halnya dengan dipeluk agama lebih identik terhadap kepasrahan. Manusia yang lebih tinggi derajatnya dengan hanya sekedar simbol (Agama), simbol buatan manusia, agama dibawah manusia. Jika dipeluk agama manusia berada dibawah sebuah simbol (Agama). Mungkin masih baik jika dipeluk agama, setidaknya tindakanya lebih manusiawi. Berbeda rasanya seandainya boleh, satu lagi perilaku keagaman menurut pandangan ‘Ngawur Karena Benar’, “Ditunggangi Agama”. Mereka yang memegang pandangan Tololisme, yang telah ditunggangi sebuah simbol (agama), sehingga tanpa sadar melakukan hal-hal diluar batas kemanusiawian. 

Akhir tulisan ini saya akan mengkutip perkataan Maha Asyik Buya Nursomad Kamba, “Semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin bertuhanlah Dia.”(*)

Penulis : Ahmad Dauris