ARTIKEL, (Ruangaspirasi.me) Sebuah
kata diawali dengan “Tempat” Manusia merupakan tempatnya “Lupa dan Salah”. Kata
inilah yang akan saya refleksikan dan aksikan dalam suara-suara sumbang ini.
Saya katakan demikian, karena saya terilhami dengan pemikiran seorang
revolusioner berkebangsaan Brasil, pastinya sebagai siswa yang maha, pastilah
sudah tidak asing lagi, yakni Paulo Freire. Seorang yang selalu menyuarakan
akan ketidak adilan para kaum-kaum proletar, seperti halnya saya kaum yang selalu
menyuarakan anti akan oportunisme.
Sepakat
akan perkataan bapak pembangunan Papua Lukas Enembe, “Politik yang ditempatkan
pada kepentingan sesaat hanya akan melahirkan sifat oportunis dan keserakahan,”
(Lukas Enembe, 2016). Jadi yang dibutuhkan dan harus segera kita
bangun serta usahakan adalah Terapi ‘memberi dan berbagi serta menanam pohon
politik kasih’.
Kembali
penulis katakan bahwa, dimanapun kita berada pasti akan bersingungan dengan
problem, perang, bencana alam, penyakit, kemiskinan, korupsi, dan malapetaka
lainnya, yang mana semua itu membuat jutaan orang menderita, hingga setiap hari
menghadapi hal-hal yang mengkawatirkan. Mengapa demikian pelik kehidupan ini,
sebab manusia selalu melupa dan menyalah. Siapa yang bisa menolong kita ? Apakah
ada yang peduli ?
Siapa
yang bisa menolong kita? Berbicara siapa pasti akan sangat subyektif, saya
lebih sepakat dengan Apa tanpa Si, karena kata Si lebih identik dan
berkonotasi dengan “Rasis atau Sinis”, dimana dalam KBBI, kata Si di maknai kurang lebih “ Suatu kata
yang menyatakan seseorang dalam hal melakukan atau terkena sesuatu, juga dapat kata
yang dipakai di depan kata sifat untuk timang-timangan, pujian, panggilan,
ejekan, disebut yang menyatakan bahwa yg disebut itu mempunyai sesuatu atau
menyerupai sesuatu yang sama dengan sebutan itu.”
Oleh
karena itu bijak bila saya mengatakan Apa yang bisa menolong kita? Saya dengan
sadar mengatakan “Din atau Agama”, seorang pelaku Tarekat lebih tepatnya wakil
talkin pada sebuah Tarekat, sering berkata dalam sebuah diskusi diruang kuliah,
‘Agama yang bagaimana?’ dengan senyum ku katakan Agama bagi mereka yang
berfikir, tidak ada Agama bagi mereka yang tidak berfikir. Namun itu pun masih
paradoks, karena dengan begitu kita dapat taklid dalam pemikiran dualistik
logika Syaeh Aristoteles. Erich Fromm mengatakan “Pengetahuan bukan dalam
pikiran yang benar, tetapi dalam perbuatan yang tepat.”
Dari
asal katanya saja Agama adalah ‘Tidak Kacau’ dengan begitu manusia yang
beragama seharus dapat berperilaku tidak kacau, walaupun dalam realitas
berfikir manusia sering terjadi falasi atau kesalahan atau lebih radikalnya
adalah melakukan kekacauan. Sebab manusia adalah tempat kesalahan entah dalam
kepercayaan atau ideologi. Manusia yang menurut Susane Laner dan Ernest
Cassirer, adalah “Homo Simbolicum.”
Manusia yang memerluhkan simbol dalam hidupnya.
Dengan
demikian muncullah agama sebagai aksi dari sebuah simbol, manusia akan dengan
bangga dan bahkan rela mati demi simbol tersebut (Agama). Agama dalam susunan
kata pasti tidak dapat berdiri sendiri entah dengan subyek ataupun objek.
Belakangan ini Agama Islam dibicarakan sebagai biang kerok terjadinya ketidak
damaian kehidupan manusia, Islam menjadi terdeskreditkan bahkan termarginalkan
dari peradaban dunia, berbicara Islam ujugk-ujuk
muncul legitimasi kekacauan, brutal, dan yang paling parah Praktisi Teroris.
Tertawa telinga ini mendengar lebel, pengecapan, atau ocehan tersebut, saya katakan kemabali bukankah manusia itulah yang
tempatnya lupa dan salah, jadi jangan serta merta langsung menyalahkan agama
Islam.
Pastilah
kita sebagai manusia tak akan lupa peristiwa teragis dan berdarah di dalam
persejarahan dunia, seperti kata sang proklamataor kita Bung Karno, “Jas merah”
jangan lupakan sejarah. Sejarah peperangan yang kemudian kita kenal dengan
Perang Duni 1 atau Great War, War of the
Nation, juga War to End All War (perang untuk mengakhiri semua perang) (Agus N. Cahyo, 2013).
Perang
yang diawali dengan ego sebagian atau sekelompok negara, kemudian terjadilah
perlombaan senjata antara 1901-1913, dan puncaknya terjadi dengan adanya
peristiwa 28 Juli 1914, yakni tewasnya Pangeran Franz Ferdinand akibat
diterjang timah panas dari sebuah pistol oleh seorang pemuda. Kemudian pemuda
tersebut ditangkap dan diintrogasi. Dalam pandangan pemuda tersebut, yang dia
tahu sang pangeran harus mati, sang Tiranik tak pantas untuk hidup. Dalam
pengakuannya di persidangan, dengan tegas pemuda tersebut mengatakan, “Saya
bertindak atas nama Serbia.” Genderang perang pun meletup.
Saya
sepakat dengan pemikiran Karen Armstrong dalam bukunya The Battel’s of God, terorisme lahir dari kekecewaan terhadap
modernisasi dan ketidakadilan para super power dunia dewasa ini. “Jika kalian
memakai agama karena terorisme itu, maka kalian sama bodohnya dengan para
teroris itu,” ujar Armstrong dan celetuk Fauz Noor.
Inilah
yang perluh diperbarui saat ini, perilaku teror yang marak terjadi sekarang ini
adalah terorisme, sebab yang mereka perbuat hanya atas dasar oportunis, ada
egoisme yang mereka suarakan. Sekali lagi risalah Muhammad, tidak sedikit
ataupun secuil mengajarkan tentang peperangan, meyakiti, atau bahkan
memusnahkan manusia secara tidak manuiswi. Tololisme yang dibanggakan oleh
kebanyakan teroris zaman now kalo mengutip bahasa filosofis, “Teror untuk
Teror”, senyum Fauz Noor.
Bagaimana
tidak teror untuk teror, mereka melakukan gerakan dengan harapan agar terjadi propaganda-propaganda
atau sebuah kerusuhan, bukan lagi “Perubahan” yang didamba-dambakan. Yang
tepenting hasil dari perbuatanya tersebut berdampak baik akan diri, kelompok,
dan yang amat penting yakni perilaku yang berlandaskan atas
kepentingan-kepentingan.
Berbeda
dengan pemicu perang dunai 1, yang dilakukan oleh pemuda tersebut lebih tegas,
berani, dan logis. Sebuah perubahan besar dari sajarahlah yang
didamba-dambakan, perilaku pemuda itu lebih kepada ketidak puasan yang terjadi
akibat tindakan sewenang-wenag kaum Tiranik. Aristoteles pernah berkata,
“Kebencian terhadap Tiranik adalah suatu yang tidak dapat terelakan.” Benci
terhadap negara super power, kepada Amerika, dan para koleganya, tetapi mengapa
melakukan kekerasan, pengeboman di bangsa sendiri. Benar kata Bung Karno,
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan
lebih susuah karena welawan bangsa sendiri.” Sungguh suatu Tololisme.
Hilangnya
rasa akan memberi dan berbagi pada tiap peribadi manusia, serta kuranganya rasa
akan kemanusiawian antar makhluk, ditambah lagi tidak pahamnya para petinggi
dengan teori Politik Kasih. Menjadi suatu PR besar bagi kita semua selaku
manusia yang mengaku manusiawi, Manusia dengan Awi, agar mengaksikan suatau
gerakan perubahan demi munculnya suatu keharmoniasan, keselarasan alam nan Asyik
ini.
Dalam
buku kumpulan essay yang berjudul Marginalia,
karya Fauz Noor, tentang Memeluk Agama dan Dipeluk Agama. orang yang memeluk
agama dalam pandangan Clifford Greetz, cenderung terhadap keraguaan lebih
memerluhkan pemahaman secara mendalam, berbeda halnya dengan dipeluk agama
lebih identik terhadap kepasrahan. Manusia yang lebih tinggi derajatnya dengan
hanya sekedar simbol (Agama), simbol buatan manusia, agama dibawah manusia.
Jika dipeluk agama manusia berada dibawah sebuah simbol (Agama). Mungkin masih baik
jika dipeluk agama, setidaknya tindakanya lebih manusiawi. Berbeda rasanya
seandainya boleh, satu lagi perilaku keagaman menurut pandangan ‘Ngawur Karena
Benar’, “Ditunggangi Agama”. Mereka yang memegang pandangan Tololisme, yang
telah ditunggangi sebuah simbol (agama), sehingga tanpa sadar melakukan hal-hal
diluar batas kemanusiawian.
Akhir tulisan ini saya
akan mengkutip perkataan Maha Asyik Buya Nursomad Kamba, “Semakin tinggi
pengetahuan seseorang semakin bertuhanlah Dia.”(*)
Penulis : Ahmad Dauris
Penulis : Ahmad Dauris