Menjaga Demokrasi: Merawat Isu Politik di Ruang Publik -->
Cari Berita

Advertisement

Menjaga Demokrasi: Merawat Isu Politik di Ruang Publik

Redaksi
Senin, 08 Oktober 2018


ARTIKEL, (Ruangaspirasi.net) Menurut penelitian yang dilakukan penulis kepada elite masyarakat zaman now bahwa sentuhan terbanyak dalam smartphone adalah mengakses aplikasi-aplikasi Mark Zuckerberg, yakni Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp.

Disampaikan oleh Bapak Septiaji Eko Nugroho, founder aplikasi “Hoax Booster Tools” saat workshop media sosial, bahwa rata-rata manusia, apalagi kids jaman now, waktu paling lama untuk jauh dari gadget adalah 7 menit. Lantas, apakah jika kita  bisa meninggalkan gadget lebih lama, maka kita masih terselamatkan? Hm, nanti dulu.

Pada hakekatnya, selamat atau tidaknya kita atas jajahan gadget adalah tentang bagaimana kita mengoperasikannya. Bagaimana menjaga mata, hati, dan tangan dari menyebar hoax, menebar benih kebencian, adu domba, dan hal lain yang harus kita waspadai.

Kebebasan menggunakan media sosial memang hak segala bangsa dan daripada itu kecerdasan dalam pengoperasian menjadi fardu ‘ain karena dapat merugikan orang lain.

Suatu hari, muncul pertanyaan fundamental, sesungguhnya, internet akan menjadi kawan atau lawan demokrasi? Lantas, demokrasi yang dimaksud seperti apa?

Makna demokrasi yang kita dapati di bangku sekolah yaitu kekuasaan di tangan rakyat. Seluruh kendali dipegang oleh rakyat. Rakyat adalah tuannya. Sayangnya, banyak elite politik yang mengumbar janji akan memimpin secara demokratis. Namun pada akhirnya, demokrasi hanya milik mereka yang mempunyai hubungan dekat dengan pemimpin.

Tentang pertanyaan di atas, Anthony G. Wilhelm mencoba menjawabnya. Menurutnya, ada tiga aliran, yakni aliran pesimistik, optimistik, dan realistik. Aliran yang pertama tidak percaya bahwa internet mampu menjadi kawan demokrasi, bahkan menjadi lawan: menusuk dari belakang. Aliran kedua, percaya betul bahwa internet dapat menjadi kawan bagi demokrasi. Sedangkan aliran realistik mencoba berdiri seimbang di antara dua titik, yakni dengan mendorong sisi dmokrasi internet sembari tetap merangkul sisi anti demokrasi internet.

Dulu, di awal kelahirannya, internet  menjadi sesuatu yang antik untuk diperebutkkan karena diharapkan dapat mengangkat demokrasi analog ke level yang lebih tinggi yaitu demokrasi digital. Sayangnya, turunan internet yakni media sosial, banyak digunakan untuk hal yang tidak lazim. Ujaran kebencian dan fitnah tidak dapat terhindarkan. Apalagi di tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Banyak bermunculan hoax dimana-mana.

Berbicara tentang hoax, memang sangat memprihatinkan. Namun sejatinya hoax adalah partikel masalah yang ringan dan mudah dihindarkan. Hoax hanya sebagian kecil problem yang populer di dunia medsos, padahal urgensi media sosial terhadap demokrasi tidaklah sedikit.
Dalam konteks demokratisasi Indonesia, media sosial memiliki efek ideologis yang kontradiktif, namun juga menjadi media sosial mampu memediasi aspirasi dan kritik warga terhadap pemerintah secara terbuka.

Contohnya saja di instagram. Pak Jokowidodo siap menerima aspirasi dan kritik apapun dari masyarakat melalui aku instagramnya. Hal demikian sangat membantu masyarakat karena ketidakmungkinannya untuk berjumpa dengan pak presiden secara langsung.

Selain itu, media sosial kerap menjadi lahan terbaik bagi masyarakat awam untuk memanen informasi dan kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang tidak bisa didengar dan diterima secara langsung. Intinya, media sosial sangat membantu masyarakat dalam berhubungan secara tidak langsung dengan pemerintahan dan menjunjung hak berpendapat atas setiap individu.
Semoga saja, keributan yang selalu terjadi di dunia media sosial segera dapat dihindarkan. Bukannya dulu, saat televisi dan radio belum lama menjadi media demokrasi juga banyak di lucuti dan dipenuhi hoax, kan?

Wallahua’lam..

Penulis: Isniyatul Khumayah