Abu Bakar Abdi Kepala Dinas Sosial Kabupaten Situbondo |
ARTIKEL (Ruangaspirasi.net) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah sering kita dengar, sebenarnya apa sih itu JKN? JKN termasuk Jaminan Sosial yang ada di dalam perangkat UU 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), jauh sebelum itu, Jaminan Sosial sudah ada di UU 45 pasal 28 dan 34 dimana agar setiap warga Negara Indonesia Pasal 28H ayat (3):
"Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat". Pada Pasal 34 ayat (2): "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah".
Jaminan Sosial ada empat jenis, yaitu Jaminan Kesehatan yang berubah nama menjadi BPJS Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Masa Tua, Jaminan Pensiun berubah nama menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Jaminan Kesehatan Nasional berubah rubah nama sesuai dengan kondisi jaman, pada tahun 1968 dengan nama Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), di tahun 1984 dengan nama Perum Husada Bhakti (PHB), tahun 1991 kepersertaannya lebih luas lagi dengan melayani anggota ABRI , Veteran, dari Perum menjadi Persero, tahun 2005 terbitlah PT ASKES yang juga diamanatkan untuk melayani masyarakat miskin yang dikenal Penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (PJKMM/ASKESKIN). Nah, Mulai tanggal 1 Januari Tahun 2014 PT. ASKES berubah nama menjadi BPJS KESEHATAN sesuai dengan UU 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Kembali ke JKN dalam pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari tiga unsur yang kita kenal dengan nama TRIPATRID yaitu unsur Pemerintah, unsur Lembaga Penyelenggara dan unsur Kepersertaan. Dimana dalam perjalanannya, selalu berubah rubah sejak berdirinya BPJS sampai sekarang. Dari unsur pemerintah melibatkan Instansi pelayanan kesehatan mulai dari Dinas Kesehatan Daerah sampai Pusat, Puskesmas dan jaringannya, Rumah Sakit daerah maupun rujukannya sampai pusat, unsur penyelenggaranya sudah kita bahas mulai BPDPK, PHB, ASKES sampai BPJS Kesehatan. Dan yang menarik adalah unsur kepersertaan, secara nasional JAWA POS MINGGU 20 AGUSTUS 2016 jumlah total warga yang menjadi peserta BPJS Kesehatan adalah 167.840.972 orang sesuai dengan data per 5 Agustus 2016, namun, jumlah cakupan peserta BPJS memang belum seluruh penduduk Indonesia yang mencapai 250 jutaan.
Ada sekitar 90 juta orang (35 persen) yang belum tercakup program BPJS. Lembaga tersebut hanya punya waktu hingga 1 Januari 2019 untuk mendaftar seluruh warga. Bagaimana dengan kabupaten Situbondo, dari DATA PER JULI 2016 yang diterima, dari jumlah penduduk Situbondo 753.300 orang, yang menjadi peserta 264.348 dan 40.284 dari Jamkesda yang akan di integrasikan ke program kepersertaan BPJS, ada sekitar 400 ribuan yang belum dicover oleh BPJS, diantaranya ada yang MAMPU ada YANG TIDAK MAMPU. Yang tidak mampu, awalnya Pemerintah Situbondo menyediakan solusi pelayanan dengan memakai pola Surat Pernyataan Miskin (SPM) yang memang dikhususkan untuk masyarakat miskin gratis di Puskesmas dan di Rumah Sakitt kelas 3.
Permasalahan muncul siapa yang menyatakan orang ini miskin atau tidak? pelayanan apa yang di berikan? bagaimana bentuk pengawasan dan ketersediaan anggarannya? Penulis tidak akan merunut ke belakang, hanya harus ada kesinkronan antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) satu dengan yang lainnya dalam mengelola dana yang diperuntukkan masyarakat miskin ini. Jangan sampai menjadi polemik yang berkelanjutan tanpa ada solusi penyelesaian yang utuh dari pemerintah daerah.
Penyelesaian sudah harus segera dibenahi dengan mendata secara IT yang di koneksikan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kepersertaan JKN diibaratkan KEPERSERTAAN PARA BEBEK, menarik untuk disimak, di dunia bebek kita kenal ada tiga jenis, yaitu ANGSA, MENTOK DAN ITIK.
Apa hubungannya dengan kepersertaan JKN. Ya, kalau ANGSA diibaratkan pasien mandiri, kaya dan mampu MBAYAR, kadang kadang ikut asuransi kesehatan swasta selain BPJS, di dunia ANGSA di kenal dengan sikap anggun, karena tampilannya putih, leher panjang, tidak mau kotor kotor, salah sedikit dia akan NYORSOR (bhs Madura: melawan dengan berlari) sambil berteriak PASOAK (bhs Madura: robek) perlakuan kelas utama harus dilakukan dalam melayani peserta dari dunia ANGSA ini, kalau tidak mereka akan komplain dan pindah ke fasilitas kesehatan yang lain.
Bagaimana dengan MENTOK atau dikenal dengan dengan ITIK KOSTA? inilah peserta BPJS KESEHATAN yang kepersertaannya dari limpahan PNS, TNI Polri, Jamkesmas, BPJS mandiri dsb, mereka diposisi NRIMAN sambil sesekali berkata JEKSAK KASAK (bhs Madura: jangan bilang bilang) penuh pengertian yang kadang kadang di luar jalur pun diterima.
Bagaimana dengan ITIK? Ya, itik inilah binatang bebek PALING BAIK se dunia? Meskipun sakit dan kakinya terkilir selama dia masih bisa bersuara, ITIK ini akan berkata BAEK BAEK, ya inilah pasien SPM, pasien yang harus ditanggung Negara sesuai amanat Undang undang dan Nawacita Jokowi, Negara harus hadir di masayarakatnya.
Menjadi RUNYAM kalau se ekor ANGSA tiba tiba dia menjadi ITIK? Dulunya kaya dan mampu tiba-tiba ngurus SPM? Di istilah kita SADIKIN (sakit sedikit miskin). Lebih lucu lagi karena ketidak tahuan, MENTOK berubah menjadi ITIK? Sebetulnya dia punya kartu BPJS macet, atau kartu BPJS yang sudah ada tidak sampai ke tangannya? Belum lagi MENTOK berubah menjadi ANGSA karena tidak puas dengan pelayanan yang ada? Kacau! bagaimana dengan ITIK itu sendiri? Kadang kadang jenis bebek ini belum masuk daftar menjadi ITIK karena ketidakmampuannya sehingga ada orang yang membantu menjadi ITIK. Secara fisik ITIK ini perlu pengakuan administrasi yang diterbitkan oleh Pemerintah yang namanya SPM.
Aturan yang jelas akan memudahkan para pengelola SPM, Dinas Kesehatan memaksimalkan peran di sisi layanan dengan menggerakkan pelayanan kesehatan mulai dari Puskesmas sampai ke Rumah Sakit. Bappeda merencanakan penyediaan anggaran, DPPKAD mengeksekusi ketersediaan anggaran, Dispendukcapil mengintegrasikan data masyarakat miskin di NIK, yang menjadi wewenangnya, Dinsos melakukan verifikasi peserta BPJS percepatan sambil mengusulkan kepersertaannya menjadi tanggungan Negara lewat proram KIS, Bagian Kesra bertugas memantau kelengkapan administrasi sebelum diusulkan ke Dinsos, dll.
Peran masyarakat juga dibutuhkan baik itu LSM, media bahkan anggota Dewan pun mempunyai porsi untuk memandu, mengawasi, menyoraki supaya para bebek ini masuk ke kandang yang benar. Jangan sampai ada benturan di unit layanan, baru dua hari NGAMAR yang ANGSA berubah menjadi ITIK? Yang harusnya MENTOK yang dibiayai pusat berubah pembiayaannya menjadi ITIK yang di biayai oleh Daerah?
Sebenarnya GAMPANG untuk mengatasi masalah JKN di pusaran para bebek. Pertama pendataan ulang para bebek, mana yang ANGSA, MENTOK maupun ITIK dengan memanfaatkan IT.
Perangkat SKPD yang satu sama lain terkoneksi dan transparan, Kedua adanya aturan yang jelas di tiga unsur baik di Pemerintah , BPJS dan kepersertaannya, yang kadang kadang BERUBAH di tengah jalan tanpa sosialisasi satu sama lain. Ketiga, program integrasi dimana para ITIK sampai 1 Januari 2019 sudah menjadi MENTOK semua, dikenal dengan program integrasi peserta BPJS yang difasilitasi oleh Pemerintah.
Keempat adanya dana talangan untuk ITIK yang belum ditemukan atau pasien yang betul betul tidak berdaya secara fisik dan administrasi, dilengkapi dengan aturan ketat, cermat serta tanggung jawab sehingga pemerintah bisa bergerak cepat untuk masalah ITIK yang tidak punya SPM ini.
Ingat dunia bebek dan permasalahan JKNnya hidup di dua alam, alam kebaikan dan alam keburukan, mudah mudahan penanganan permasalahan JKN untuk para bebek yang dimaksud tetap berada di pusaran alam kebaikan. Semoga.
PENULIS : ABU BAKAR ABDI (Kepala Dinas Sosial Kabupaten Situbondo)